Kemarin wajahku masih bungkam..
Dari beribu diam..
Aku masih menyimpan sepercik gurindam..
Namun ku tahan demi waktu yang hujam..
Aku percaya ia akan naik pitam..
Aku lintasi kantin siang ini..
Ia sang jahat berlantang keras..
Berkata benci dengan bangga..
Padahal tak lebih dari sang sirik..
Kau hina aku..
Kau tertawai aku..
Kau tipu aku..
Dari muka duamu yang terlihat seperti malaikat namun bersayap iblis..
Aku abaikan segala hal tentangmu..
Ini tak apa-apa..
Ini tak sebanding..
Dari apa yang sudah aku lewati..
Aku lalui hari dengan bercanda pada alam..
Aku merasa bangga bahwa menjadi diam ada manfaat..
Gemaris senyumku sudah pudar untuk sang sirik..
Dia tak pantas menjadi temanku..
Kini aku bahagia tanpanya..
Kau tak percaya mungkin..
Tapi ini nyatanya..
Ia tak sebanding dengan sang rakus yang pernah ku hadapi..
Waktu akhirnya naik pitam..
Ia berikan pencerahan saat aku sudah ada di sudut..
Alam menunjukkan persahabatannya..
Ia tunjukkan siapa yang jahat sebenarnya..
Sang sirik mengibaskan sendiri sayap iblisnya..
Tak perlu aku berkoar..
Atau buktikan aku benar..
Cukup ia yang bereaksi..
Reaksi buruk yang ia paparkan..
Diterima sangat baik oleh alam..
Alam menggesernya perlahan..
Seolah gelar malaikat padanya harus pudar..
Senja ini coklat panas masih menemaniku..
Aku hanya jadi penonton..
Gelegar tawaku pecah..
Saat ada yang ingin mematahkannya..
Senyumku merekah dengan tulus..
Kepercayaanku pada waktu berjalan mulus..
Seolah manusia kecil sepertiku bisa bernasib bagus..
Kini ia sendiri menghadapi pedang siap dihunus..